Pendidikan nonformal merupakan salah satu cara untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Dalam penyelenggaraannya memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar sepanjang hayat sesuai dengan potensi, situasi dan kondisi lokal (kontekstual). Pendidikan nonformal pun juga dimaksudkan sebagai upaya pemerataan pendidikan yang diprogramkan pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan nonformal (Ditjen PNF) memiliki beberapa program garapan yang sifatnya strategis, diantaranya program pendidikan kesetaraan kejar paket A setara SD, paket B setara SMP, dan paket C setara SMA, Keaksaraan fungsional, PAUD dan berbagai pendidikan kecakapan hidup (PKH) dengan konsep “Menjangkau yang tak terjangkau dan melayani yang tak terlayani”, semua itu sebagai upaya memutus rantai kebodohan dan keterbelakangan. Artinya, pemberian kesempatan kepada masyarakat mengikuti pprogram PNF adalah dalam rangka upaya membekali peserta program dengan seperangkat pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk mencari bersaing dilapangan kerja maupun membuka lapangan kerja secara mandiri.
Tugas yang maha berat itu tidaklah mungkin bisa menyelesaikannya sendiri oleh pemerintah (dalam hal ini P2PNFI, BPPNFI, dan BPKB). Untuk itulah dalam pelaksanaan programnya, Pemerintah harus menggandeng lembaga mitra yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan nonformal untuk berpartisipasi dalam pemeratan kesempatan memperoleh pendidikan kepada masyarakat yang karena sesuatu hal kurang memiliki akses untuk menikmati pendidikan. Mitra yang dimaksud itu salah satunya bernama pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), yaitu suatu tempat kegiatan pembelajaran masyarakat (tempat mencari informasi untuk menambah wawasan) yang diarahkan untuk memberdayakan potensi masyarakat setempat dalam rangka menggerakkan pembangunan dibidang sosial, ekonomi dan budaya melalui jalur pendidikan nonformal secara mandiri dalam konsep dari, oleh dan untuk masyarakat. Melalui kegiatan yang dilaksanakan oleh PKBM diharapkan bisa menumbuhkan masyarakat gemar belajar, yaitu keadaan dimana setiap anggota masyarakat secara sadar untuk terus menerus meningkatkan kemampuan dan kapasitas belajarnya untuk mewujudkan kesejahteraan keluarganya, dimana pola pikirnya yang baru dan wawasan yang luas ditumbuh kembangkan seiring dengan kebebasan membangun aspirasi bersama. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, PKBM telah banyak berbuat memberdayakan masyarakat melalui sektor pendidikan nonformal. Banyak sudah masyarakat yang telah merasakan manfaat dari program PNF yang dilaksanakan oleh PKBM. Untuk itulah Ditjen PNF sebagai perancang program PNF memberikan bantuan teknis berupa diklat, workshop dan sejenisnya untuk meningkatkan mutu Tutor dan Pengelola serta memberikan bantuan dana operasional sebagai bentuk penghargaan dan pelestarian kelembagaan, seperti pemberian dana Bantuan Operasional Penyelenggaran (BOP), pemberian dana Bansos Beasiswa WB paket B dan C serta bantuan lain, baik yang rutin maupun yang sifatnya insidental .
Agar berbagai bantuan dana yang diberikan tampak hasilnya dan betul-betul dirasakan manfaatnya oleh peserta program, kiranya sudah saatnya pola pembinaannya dirubah, tidak sekedar melakukan monitoring dan evaluasi yang selama ini kesannya hanya sekedar “melihat” dan “mendengarkan” cerita dari para pengelola untuk kemudian pulangnya “disangoni” (bagi mitra yang pengertian dan petugas yang berkenan) dan tidak ada tindak lanjutnya, maka yang terjadi dari tahun ke tahun lembaga mitra banyak yang tidak mengalami “kemajuan” yang berarti, karena sifatnya yang sekedar “gugur kewajiban”. Contoh kecil, ketika mitra belum mendapatkan dana, hampir setiap hari menelpon “Balai”, tetapi ketika dana sudah diterima, mereka langsung ngacir, babar blas tidak memberi kabar, bahkan kewajiban membuat laporan awal seperti yang dipersyaratkan juga tidak dibuat jika tidak ditegur, dan anehnya “Balai” tidak punya kuasa untuk memberi sanksi kepada mitra yang nakal. Ini terjadi (mungkin) karena mereka menganggap bahwa “Balai” hanya berperan sebagai tukang bagi dana program dari Direktorat, sehingga hubungannya sebatas pada pengiriman proposal, AKS dan distribusi dana tanpa ada pengendalian yang berarti sehingga mitra agak menyepelekan petugas dalam beberapa hal. Ini terjadi dari tahun ke tahun. “Kalau ngirim proposal elek-elekan saja dapat dana, ngapain harus bikin susah-susah, toh tidak ada kontrol dan efek jera yang diberikan.karena dana itu memang harus disebarkan sesuai daya serap dari anggaran yang disiapkan” Mungkin itu yang ada di benak masing-masing pengirim proposal tanpa rasa berdosa demi mendapat keuntungan dari mengelola dana program, dan nyatanya banyak SKB dan PKBM yang asal kirim proposal tanpa memperhatikan sistematika namun tetap mendapatkan dana, sehingga setiap tahunnya akan selalu terulang kembali proposal asal-asalan.
Tidak ada salahnya jika pola pembinaannya meniru lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat usaha ekonomi produktif. Dimana, dalam pola pembinaannya, mereka secara berkala mengumpulkan warga binaan untuk berbagi pengalaman. Dalam kegiatan itu masing-masing warga binaan menceritakan keberhasilan dan kegagalannya dalam melaksanakan program dalam kurun waktu tertentu. Peran pendamping hanya mencatat dan mengkondisikan agar jalannya pertemuan itu hidup penuh dinamis dan semuanya aktif berbagi cerita dan memberi masukan, tanpa ada kesimpulan. Acarapun ditutup dengan “ramah tamah” disertai harapan semua warga binaan bisa bekerja lebih giat lagi agar hasilnya semakin baik sehingga pertemuan berikutnya semakin baik ceritanya. Dari hasil catatan itulah kemudian dirumuskan sebagai bahan bimbingan teknis yang pelaksanaanya disesuaikan dengan acara monev.
Sebenarnya, ”Balai” bisa melakukan itu, dengan catatan pihak “menejemen” bisa mengkondisikan lembaga mitra ketika mereka akan melakukan AKS. artinya sebelum AKS mereka dikumpulkan dan diberi arahan agar mereka menyisihkan ‘sedikit’ dananya untuk transport ke ”Balai” secara berkala dalam rangka pembinaan, disamping dana monev yang memang sudah ada pos nya. Artinya, dalam pola pembinaan ini, mitra datang ke ”Balai” dengan transport ditanggung sendiri, sedang ”Balai” menyiapkan akomodasi/konsumsi ala kadarnya yang penting suasana menyenangkan, perut kenyang, pulang dengan selamat dan tujuan tercapai.
Pola semacam ini pastilah tidak memberatkan bagi lembaga mitra, mengingat pertemuan ini merupakan media silaturahim dan tukar informasi yang akrab bersahabat untuk menjalin persatuan dan kesatuan diantara para pegiat pendidikan nonformal, sehingga lembaga mitra yang “agak nakal” dalam membelanjakan dana program akan malu sendiri untuk kemudian berbenah menjadi mitra yang amanah dalam mendistribusikan dana bantuan sesuai dengan rencana anggaran belanja yang telah ditentukan di dalam petunjuk teknis dan petunuk pelaksanaan program. Dengan demikian, pembinaan kepada lembaga mitra itu perlu, termasuk kepada ”Mitra Titipan” agar mereka tidak seenaknya sendiri, tidak hanya sekedar mendapatkan jatah dana program, tetapi harus bisa menampakkan juga program-program yang diselenggarakannya sesuai proposal sebagai pertanggung jawaban moral dari pengelola program PNF, malu dong mitra titipannya orang penting kok memble. Sekali lagi pembinaan kepada mitra itu memang perlu jika program-program PNF ingin semakin bermutu, tidak sekedar program pelengkap yang penuh aroma kolutif. Semoga. [Edibasuki/bppnfi.reg4]
Sumber:
http://www.jugaguru.com